Beberapa hari berturut-turut satu hal ini menggiring saya pada
semesta-semesta yang semakin menyakitkan buat saya.
Beberapa hari sebelum saya bertemu Tulus di hari Sabtu ( 4 Feb 2017) pada
suatu acara di Senayan, hati saya banyak berkecamuk dengan satu mimpi saya yang
saya tempel di dinding kamar dan selalu menegur saya setiap saya membuka mata
dan akan tidur:
Jika saya kesal, saya mencabutnya. Bukan karena tulisan itu buruk, namun
saya merasa sedih sendiri. Saya kesal dengan banyak pertanyaan yang hadir dan
saya pun belum bisa menjawab kapan ini akan bermuara (atau mungkin hanya mimpi
ketinggian saya).
Tapi saya bukanlah orang yang bisa mengkerdilkan mimpi saya sendiri. Karena
ini bukan sekadar apa yang ada di kepala, tapi lebih ke arah nurani saya yang
selalu menegur saya. Mengarah kesana. Ada sesuatu yang bahkan tidak bisa saya
jelaskan dengan detail.
Oleh karena itu saat ini berperang dalam diri, sesak rasanya. Yang ada saya
hanya mengambil air wudhu, menenangkan diri dalam solat, atau menyelinap
melalui ayat-ayat kitab suci saya.
Berpasrah pada Pencipta. Membiarkan apa yang saya impikan ini berselimut doa
yang tak jarang membuat sajadah saya basah.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saat saya menghadiri acara yang menyajikan Tulus sebagai pembicara, Tulus
menceritakan bagaimana langkahnya menjadi penyanyi. Bagaimana karyanya selalu
ditolak oleh label-label besar sampai akhirnya dia memproduksi albumnya sendiri
dengan bantuan kakaknya.
" Saya memulai semuanya dengan benar-benar mencari saya itu
kurangnya dimana. Saya tau saya bisa menyanyi karena guru SD saya bilang suara
saya bagus tapi waktu saya SD..."- sepenggal kalimat yang Tulus
ceritakan.
Sampai ada benar-benar kalimat yang membuat saya heran sendiri dan campur
aduk rasanya...
" Saya itu tidak bisa main alat musik, saya tidak bisa aransemen
lagu, saya hanya bisa menyanyi, dan membuat lagu mentahan saja. Saya butuh
orang-orang yang bisa melengkapi kekurangan saya ini". kurang
lebih kalimat itu yang menampar saya.
Sama persis dengan saya:
( saya heran. Mengapa pembicara di depan saya ini seolah
menjabarkan apa yang saya rasakan. Seolah memantulkan apa yang ada di diri
saya)
Tidak bisa main alat musik, tidak bisa aransemen lagu, hanya bisa membuat
lagu mentahnya saja.
( kebiasaan yang entah bisa dibilang aneh atau wajar saja: saya selalu
menadakan lirik dari tulisan saya lalu agar saya tak lupa bagaimana nada yang
saya ciptakan, saya merekamnya)
Tulus juga menampilkan video perjalanan karirnya yang jelas membuat mata
saya benar-benar memusat kesana. Ini bukan sekadar tontonan video, saya hampir
menangis. Bukan sekadar sinema yang apik tapi setiap potongannya selalu
berbicara dengan tafsiran yang mengena di diri saya.
Saya tau langkah nyata saya masih sangat kurang. Saya belum sejatuh bangun
Tulus. Namun saya sudah mengusahakan itu, setidaknya setelah saya menginjakkan
kaki di Jakarta.
Saya menghubungi salah satu saudara jauh saya yang notabene adalah penyanyi
jazz dengan grup musik yang sudah sangat besar, yang lagunya mungkin menjadi
salah satu di playlist teman-teman yang membaca ini.
" Buka mata, hati, telinga, seungguhnya masiha da yang lebih
penting dari sekedar kata cinta"- salah satu lirik yangs angat saya suka
dari salah satu lagu om saya ini.
Saya menghubunginya, mengatur jadwal untuk bertemu, namun seringnya
pertemuan saya gagal dan mengatur ulang karena jadwal om yang padat, dan kami
akhirnya ngobrol di chat.
Bukan karena saya bersaudara semuanya menjadi mudah. Tidak-sama-sekali.
Di percakapan chat saya menjelaskan banyak hal- bahkan curhat.
dan dibenturkan dengan pertanyaan:
Dalam bayangan kamu untuk jadi penyanyi harus apa?
Apa yang udah kamu lakuin Karl?
Apa yang udah kamu lakuin sebagai solois?
sampai pada pertanyaan yang tidak bisa saya jawab:
belajar nyanyi sama
siapa?
belajar nyanyi sama siapa: saya tidak bisa menjawab ini karena saya
memang tidak pernah ikut kursus vokal.Tidak sama sekali. Semuanya mengalir.Yang
saya tau: saya melakukan semuanya dari hati saya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata ibu saya, saat saya TK..guru TK saya bilang suara saya bagus lalu
meminta saya untuk menyanyi di acara perpisahan kakak kelas TK besar. Saya
bahkan tetap ingin tampil walau ibu sempat melarang. Dan akhirnya saya tampil:
Dan saat saya masuk SD, saya coba untuk ikut seleksi paduan suara SD (dan beberapa ekskul lain. Ikutan paskibra, main gamelan, menggambar,dokter kecil, dan..apalagi ya. Pokoknya jaman SD jaman ikutan ekskul paling banyak seumur hidup)
Saya
lolos menjadi tim alto karena memang timbre suara saya yang berat. Kata beliau,
suara saya punya warna. Saya tidak tau maksutnya waktu itu. Masih terlalu
bocah.
Bahkan guru padus SD itu, masih ingat dengan saya ( karena dulu saat saya
SD, setiap latihan padus saya memakai baju dokter kecil. Karena saya jadi tim
dokter kecil juga waktu SD). Saya bertemu lagi dengan guru padus SD ( namanya
pak Wahyu), saat saya sudah kuliah. Tidak sengaja bertemu disalah satu
perlombaan paduan suara. Beliau menjadi guru padus di salah satu fakultas di
universitas saya sedangkan saya menjadi anak paduan suara universitas.
Dipertemuan itu yang beliau ingat waktu menyapa adalah,” Kamu dokter kecil
kan?”- saya ketawa sendiri. Bagaimana bisa setelah belasan tahun dan akhirnya
bertemu, kalimat itu yang pertama kali beliau lontarkan. Tapi lucu. Membekas.
Dan beliau menanyakan tentang menyanyi saya.
SMP pun demikian, saya menjadi anak paduan suara lagi ( dengan jadi anak paskibra dan basket juga)
Saat SMA saya tidak mengikuti paduan suara karena saya ingin mengeksplor bidang lain yaitu karya tulis, basket, dan teater. Dimana saya
menargetkan untuk berprestasi di ketiga bidang ini. Karena saat itu juga,
paduan suara SMA saya kurang memiliki kekuatan untuk join di perlombaan. Dalam
urusan memilih ekstrakulikuler, saya memang pemilih. Yang jelas saat saya
mengikuti kegiatan diuar belajar pelajaran sekolah, ekskul yang saya ambil pun haruslah
yang berproyeksi ke depan. Minimal ada perlombaan yang bisa saya ikuti bukan
sekadar kumpul-kumpul saja tanpa punya target yang dicapai.
Saat kuliah, saya seleksi untuk ikut paduan suara universitas. Cuma satu ekskul aja sambil jadi pemain film-film pendek atau dokumenter. Yang
jelas, kecintaan saya pada menyanyi dengan suara yang seadanya ini membuat saya
tergiring oleh semesta untuk bertemu dengan orang-orang yang bisa mengembangkan
menyanyi saya tanpa harus saya les vokal secara khusus. Saat seleksi tingkat
universitas pun, sangat banyak sekali peminatnya. Apalagi memang paduan suara
menjadi salah satu ukm yang memiliki nama dan incaran. Salah satu pelatih saya
saat tes pembagian suara, beliau mengeluarkan kalimat yang guru padus SD saya
bilang tentang karakter suara yang saya punya. Akhirnya disitu saya dijelaskan
bahwa suara saya berkarakter, jadi untuk gabung di tim paduan suara..saya harus
diletakkan di tempat yang pas. Untungnya walau saya berkarakter khas, suara
saya ini model suara yang bisa tetap bercampur dengan suara lain. Dari sini
pula, apa yang ibu utarakan saat saya masih kecil terjawab. Karl kecil selalu
bertanya ke ibu tentang keinginanya ke luar negeri dan ibu selalu menjawab,”
Iya boleh ke luar negeri dengan pakai prestasi ya”. Dan saat saya seleksi tim
untuk ajang ke luar negeri, saya terpilih. Saya menjadi tim paduan suara untuk
ke China dan Itali. Hidup memang menarik.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semenjak di Jakarta, saya sempat berpikir: apakah saat saya disana, saya
tidak bisa nyanyi lagi? Karena ketahuilah, kebiasaan menjadi anak paduan suara
menjadi hal yang sangat aneh ketika tau-tau tidak menyanyi lagi. Saya bahkan
sempat mengkhawatirkan itu sekelebat. Rasa-rasanya saya tidak bisa jika tidak
menyanyi. Apa jadinya jika hidup saya hanya dipenuhi aktifitas
makan-mandi-mengarui macet Jakarta- ngantor- pulang-tidur- dan begitu lagi
siklusnya. Jaman sekolah, saya pun padat dengan aktivitas, namun lagi-lagi
ketika ada lahan untuk menyanyi semuanya menjadi seimbang. Karena saya yakin
bahwa setiap manusia harus meluangkan waktu minimal 20% dari hidupnya untuk
melakukan apa yang membuat ia senang, dan menyanyi menjadi lahan yang sudah
mengakar dalam diri saya.
Saat di Jakarta, ternyata Tuhan itu Maha Baik. Pertemuan saya dengan
salah satu teman dari paduan suara UI saat saya menjadi ketua kontingen padus
universitas ke Itali, membuat kami akhirnya berteman jauh dari yang saya
bayangkan. Ceritanya dulu saya dengan modal nekat karena saya merasa harus
bertanya pada seseorang yang sudah berpengalaman, saya ke Jakarta sendiri. Saya
mencari tau bagaimana akomodasi dan printilan lainnya jika mengikuti perlombaan
paduan suara di Eropa. Karena saat saya menjadi ketua kontingen, itu untuk
pertama kalinya padus saya mengikuti lomba internasional tingkat Eropa,
sedangkan paduan suara UI sudah beberapa kali mengikuti perlombaan di kawasan
Eropa. Dan kebetulannya teman saya ini juga menjabat menjadi ketua paduan suara
UI dan menjadi komandan untuk perlombaan di Itali. Jadi kami sama-sama
mengikuti perlombaan di negara yang sama namun di kota berbeda, lomba berbeda,
dan waktu yang berbeda. UI pada bulan Agustus sedangkan Undip pada bulan
September. Dari pertemuan ini dan tukar menukar info serta menguatkan satu sama
lain ( karena menjadi ketua kontingen perlombaan sangat besar itu berkecamuk
juga-lumayan pusing-uang dari mana banyak banget- sponsor kemana lagi-dan
perempuan yang kadang juga nangis kalo udah mentok capeknya-tapi harus bangkit
sesegera mungkin karena kami berdua komandan), hostel yang UI pakai saat di
Roma pun jadi sama dengan yang Undip pakai. Kami benar-benar menguatkan saat
itu dan menyuport satu sama lain untuk cita-cita kami membawa paduan suara
Indonesia berprestasi di Eropa.
Setelah pertemuan itu, kami berteman dan saya join grup nyanyi yang ia
bentuk dengan teman-teman paduan suara UI, nama grup kami sodapop.
Grup ini menjadi nafas baru untuk saya. Walau suara
saya-jelas-tidak-sebagus-teman- teman bersepuluh saya. Percayalah, suara teman-teman
saya ini sangat-bagus-sekali-dengan-teknik bernyanyi yang terasah ( karena dulu
saya juga pernah menyelinap ke latihan paduan suara UI dan melihat bagaimana
teknik dan suara perseorangan itu digodok betul. Saya salut sekali dengan cara
ini.)
Saya ikut bernyanyi di grup ini. Dengan pembagian suara yang saya ikuti
saja. Yang jelas saya senang, karena selain saya bisa bernyanyi lagi..mereka
juga menjadi teman baru saya saat saya pertama kali di Jakarta. Grup kami juga
suka join perlombaan-perlombaan di Jakarta, sebut saja keisengan yang
berkualitas dan ternyata mendapatkan juara ( teman-teman juga bisa follow
instagram kami: @sodapop.id) dan skejul terbaru kami adalah kami akan bernyanyi
di Ismail Marzuki Jazz Festival. Untuk info detailnya nanti akan dipublikasikan
lagi.
Tidak sampai situ saja, ternyata saya
masih diberi ladang bernyanyi lagi bersama para alumni paduan suara Undip yang
merantau di Jakarta. Senang sekali rasanya. Saya bisa kumpul dengan rumah kedua
saya saat saya di universitas. Berkumpul dan bernyanyi bersama alumni lintas angkatan
dengan skejul latihan rutin.
Sebenarnya saya kepikiran untuk membuat youtube, hanya saja saya tidak
bisa mengedit video dan saya butuh juga orang yang bisa saya ajak tukar konsep
untuk membuat ini. Oleh karena itu saya jadinya saat ini hanya
nyanyi-nyanyi semenit di instagram. Jika
teman-teman yang membaca ini minat, bisa kontak saya. Bikin karya bareng hehe.
Saya tau suara saya masih jauh dari kata bagus. Orang Indonesia banyak
sekali yang bersuara bagus. Saya juga menyanyi masih ada keseleo alias fales.
Tapi saya orang yang selalu ingin belajar. Karena dari dulu saya belajar
benar-benar ‘digiring semesta’ saja. Semengalir itu.
Saya baru menyusun langkah lagi untuk mengembangkan ini. Mengatur jadwal
lagi dengan om saya, meluangkan waktu untuk nyanyi-nyanyi ga penting di
instagram, dan nyanyi-nyanyi senang dengan grup. Serta jikalau memang kamu yang
membaca ini bisa membantu saya membuat karya bersama, saya dengan senang hati
terbuka untuk itu.
Semoga apa yang saya mimpikan bisa terwujud. Memiliki karya, bisa
didengar orang banyak, dan menyenangkan mereka ( dan otomatis hal-hal itu
tentunya menyenangkan diri saya juga). Entah bagaimana caranya, semoga Tuhan
selalu mengantarkan saya pada pertemuan-pertemuan baik dengan mereka yang bisa
membantu menyatakan mimpi saya. Sampai nantinya saya tak lagi memplakati ini
dengan ‘saya’ saja namun menjadi karya ‘kami’.
Saya tidak punya tujuan khusus menuliskan ini. Saya hanya ingin menulis
saja. Dan terima kasih untuk kamu yang meluangkan waktu untuk membaca.
Mungkin juga bisa ikut mengamini mimpi ini
.
Bukankah mimpi adalah ladang yang membedakan manusia dengan makhluk
ciptaan Tuhan yang lain?
-with love-
Karl.