Selasa, 01 Agustus 2017

Mencintaimu Penuh Percaya



Saya ingin mencintaimu dengan penuh percaya.
Dari terbit fajar hingga tenggelam
Dari jarak dekat maupun mungkin kelak beberapa saat kita jauh

Karena saya yakin cinta butuh ruang untuk terus berkembang.
Membesarkan rasa percaya untuk tumbuh terus membungkus rapi kasih yang akan terus kita rawat.

Bukan berarti saya tak mengkhawatirkanmu, saya masih saja begitu. Karena kaum saya tercipta sebagai pengkhawatir ulung. 

Saya juga tidak ingin terlalu merengek jika kamu sedang sibuk. Karena saya yakin semua sudah ada porsinya.
Sibukmu adalah sibuk yang membaikkan. Dan saya mendukung itu.
Namun jangan lupakan saya ya. 
Saya bisa saja menyebalkan jika kamu sampai lupa. Oke,sayang?

Karena tugas menjaga hati adalah milik masing-masing.
Bukan tugas saya untuk menjaga hatimu atau sebaliknya.
Terus menjalani, membuktikan, dan jangan lelah ya jika mungkin suatu saat saya menyebalkan.
Cukuplah kita untuk terus ada.

Tak perlu saya harus ini itu. 
Tak perlu kamu harus ini itu.
Kita sudah dewasa dan bisa memilah mana yang benar dan tidak. 
Bukankah begitu, sayang?

Saya yakin kamu akan mampu menjaga kita. 
Jadi lakukan sebaik mungkin ya.
Saya juga demikian.

Pada malam yang menuliskan kamu di dalamnya:
Yang kelak akan saya cintai di perjumpaan yang manis atas kehendakNya.
Ingatlah,
Saya mencintaimu dengan penuh percaya.



Sabtu, 29 Juli 2017

Altar Senja



Pada bibir yang pernah mengucap cinta
Meyakinkan sungguh
Sampai singgah lara

Menggulung hari
Berpihak pada mimpi yang harus dinikmati sendiri

Seketika waktu berlari
Bertemu pada sapa
Luruh
Rindu runtuh
Senyum itu berceceran di langit membentuk awan cerita hingga terbawa menuju senja.

Menetaplah sayang,
Meletakkan cinta pada satu hati lalu mengikatnya pada altar jiwa.

Hingga senyum yang telah berceceran di langit membentuk awan cerita hingga terbawa menuju senja bisa kita nikmati berulang-berdua.
Sembari terus merajut banyak kebersamaan berlatar penerimaan, kesabaran, dan saling menguatkan.

Rabu, 19 Juli 2017

Selamat Jalan Eyang Imran

Halo pembaca blog.
Sudah lama saya ga ngeblog dan kali ini saya mau berbagi cerita yang sebenarnya ingin saya tuliskan di blog sejak dulu. Namun baru sempat saya bagikan sekarang dan ternyata momennya lebih mengena lagi kepada saya.

Bagi teman-teman yang berkawan dengan saya via instagram juga, mungkin sudah tau bahwa tiga hari lalu kakek saya meninggal dunia.
 Sebenarnya ini bukan kakek kandung ( kakek dan nenek kandung saya dari ibu, sudah lama tiada. Saya bahkan hanya tau dari foto saja wajah almarhum kakek kandung saya yang beragama katolik, sedangkan nenek kandung saya ( islam) meninggal saat saya masih usia 5 tahun.), yang meninggal 3 hari lalu adalah suami dari tante ibu saya.

Namun pasangan suami istri ini sangat dekat sekali dengan kami. Saya sudah menganggap almarhum eyang Imran dan eyang In seperti kakek dan nenek saya kandung. Setiap kami sekeluarga dari Semarang datang ke Jakarta, pasti tujuan pertama kami adalah berkunjung ke beliau. Maklum, eyang In ( nenek) sangat sayang kepada ibu saya. Selalu bilang," Nenek kamu ( kakak dari eyang In) itu cantik sama kayak ibumu dan kamu"- ini adalah kalimat yang sering eyang In ucapkan selain kata " terima kasih" dan " kalimat-kalimat positif tentang kehidupan sesederhana: Jangan pernah bilang tidak tapi bilang saja belum"

Jadi itu saja pembukanya, saya lanjutkan ke cerita utama:
Secara pribadi saya sangat mengagumi pasangan suami istri ini. Di usia mereka yang semakin menua, justru semakin memperlihatkan pada saya bahwa kasih sayang itu bersifat abadi. Almarhum Eyang Imran berusia lebih muda enam tahun dari eyang In. Setau saya eyang Imran adalah murid dari Eyang In ( eyang In seorang dosen) entah bagaimana asal muasal cinta itu muncul dan memutuskan untuk hidup bersama.
Sebagai seorang lelaki, eyang Imran terbilang sangat sukses. Memiliki semua hal yang menjadi 'godaan' lelaki dan  usianya yang lebih muda pun tak membuat cinta dan kasih sayangnya kepada eyang In memudar oleh waktu.

Saya masih ingat saat eyang Imran selalu mengantarkan eyang In yang saat itu harus berobat ke Semarang. Bolak balik Jakarta- Semarang ditemani satu asisten rumah tangga. Namun bukan berarti semua hal itu dilakukan oleh asisten rumah tangganya, asisten rumah tangga ini hanya bersifat mendampingi mereka yang usianya sepuh. Namun semua hal yang berkaitan dengan pengobatan serta menunggu itu dilakukan oleh eyang Imran. Saya sangat melihat bagaimana kasih sayang itu melekat terus di hati dan tindakan eyang Imran.

Tak hanya itu: salah satu momen manis yang saya ingat betul adalah saat kami sekeluarga beserta kedua eyang saya ini makan malam.
Eyang Imran selalu menyendokkan nasi untuk eyang In ( padahal yang biasa terjadi adalah wanita yang menyendokkan nasi ke piring suami kan?) dan itu pun eyang mengerti berapa takarannya dan selalu diakhiri dengan kalimat manis " Terima kasih" dari eyang In. Ini manis sekali :)

Sebenarnya kedua eyang ini seperti saling gantian masa sakitnya. Namun saat eyang Imran sakit, eyang Imran sangat tak mau terlihat sakit. Eyang Imran terkena penyakit kanker usus dan menyebabkan selama eyang di rumah, eyang harus membawa kantong kemana-mana ( kantong tersebut berisi kotoran sisa pencernaan karena eyang sudah tidak bsia juga untuk mengeluarkan sisa pencernaan seperti orang normal), dan yang saya salut dari almarhum adalah setiap ada acara silahturahmi sejauh apapun dengan kondisi demikian pun, beliau selalu datang.

Kondisi eyang Imran memburuk beberapa hari sebelum lebaran. Harus berbaring di rumah sakit. Tepat setelah lebaran, kami sekeluarga tau dan pada saat itu bapak, ibu, dan adik saya masih di Bandung dan saya sudah di Jakarta: keluarga saya langsung siang itu juga beli tiket kereta untuk berangkat ke Jakarta- saya pun masuk kerja ijin hanya setengah hari. Pada saat kami menjenguk, eyang masih bisa bicara dan memang saat itu hanya kami dan dua orang lagi yang menjaga eyang di rumah sakit. Dan eyang Imran dengan kondisi terbata mengucapkan kalimat sembari berbaring di tempat tidurnya, menjabat tangan kami berempat satu-satu.
Eyang Imran hanya mengucapkan " Terima kasih sudah datang"- kami sangat menyayangi almarhum :")

Saat awal masuk rumah sakit, eyang In tidak diberi tau bahwa suaminya ini sedang berjuang melawan rasa sakitnya. Sampai akhirnya insting seorang istri dan upaya dari anak-anaknya yang sudah tidak lagi ingin menyembunyikan keadaan, entah bagaimana caranya akhirnya eyang In tau.
Bahkan saat eyang In mimpi kedatangan eyang Imran, Eyang In sempat bilang," Bolehkah saya ijin menangis sebentar saja. Saya habis ketemu bapak"- ngilu mendengar itu.
lalu air matanya tumpah.


 -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
  Sekitar pukul 12.00 di hari Senin, saya mendapat kabar bahwa eyang Imran meninggal. Saat tau berita itu, saya yang masih mengerjakan tugas kantor langsung menangis di tempat. Saya memang terlalu cengeng. Dan saya langsung minta ijin. Perjalanan saya dari kantor di bintaro sampai ke rumah eyang benar-benar diburu waktu karena saya mendapat kabar dari pakde bahwa almarhum diberangkatkan ke kerawang pukul 14.00 sedangkan saya baru jalan dari kantor sekitar 12.30.
Saya harus naik ojek-KRL-pindah transit-KRL lagi-ojek. Saya di dalam hati hanya bilang " Eyang Imran, tunggu saya dulu"- dan saat sampai di rumah eyang...pemandangan pertama yang saya dapati adalah: ruangan tamu dengan dinding putih itu, keranda yang sudah berisi eyang Imran, dan eyang In duduk di kursi- tidak jauh dari keranda.
Saya bukan lagi sedih karena kehilangan eyang Imran, melainkan saya juga sedih melihat eyang In yang harus ditinggal terlebih dahulu oleh suaminya ( saya tau, hidup selalu memiliki porsi untuk kehilangan namun saat kondisi itu mendatangi saya: saya memang selalu menangis. secengeng itu saya)
Saya hanya memeluk eyang In yang tampak sangat tegar dibalutan mukena.

Perjalanan ke pemakaman ( San Diego Hills di Kerawang) sangat lancar. Sesampainya disana, saya menuntut langkah eyang dari keluar mobil hingga duduk di prosesi pemakaman.





Saat itu eyang tidak mau pakai kursi roda sehingga setiap langkah bersamanya saya hanya menerka," Bagaimana perasaan eyang saat ini?"- Langkahnya yang pelan-pelan membuat saya mengeratkan jemari semakin erat dan sesekali saya melihat genggaman tangan eyang dan raut mukanya.

Saya memegang jemari eyang lagi karena beliau ingin maju mendekat ke liang kubur ketika jenazah eyang Imran sudah pada tahap diletakkan di dalam tanah dan akan di adzankan oleh anaknya.



 Hati saya ngilu hebat saat langkah semakin dekat-saya menangis.
Kasih sayang dan cinta antara mereka berdua terngiang di kepala saya.
Saat itu saya benar-benar melihat bahwa " cinta terlalu lemah jika berpisah hanya karena tak dapat membendung ego satu sama lain, karena sejatinya yang mampu memisahkan hanya satu: maut".



Salah satu anaknya mendekat kepada eyang In:
" Bagaimana bu, sudah mau pulang?"
Eyang In diam beberapa saat
" Iya.."
"Ibu sudah ikhlas?"
"Saya Ikhlas..."- ucap eyang sembari terbata. Kalimat sederhana itu membuat saya menarik nafas panjang.
--------------------------------------------------------
Cinta mereka berdua terlalu manis untuk saya. Bagaimana saya melihat bahwa lelaki memang harus memiliki porsi lebih dalam mencintai perempuannya. Karena porsi lebih itu akan membawa lelaki untuk menanggulangi godaannya. Karena godaan lelaki lebih berat daripada perempuan ( harta, tahta, dan wanita)  dan dari ketiga godaan tersebut yang paling berbahaya adalah wanita.
Jika urusan harta dan tahta ternoda, hanya malu dan sanksi sosial yang akan di dapat namun jika sudah sampai pada wanita lain: hancur pernikahan.

Harus mampu memposisikan pasangan hidupnya sebagai salah satu tujuan hidup: untuk saling menerima secara utuh, menyayangi, menguatkan, dan memaafkan seumur hidup.

Dan saya lihat itu dari sosok almarhum. Walaupun usianya lebih muda 6 tahun dengan segalanya yg ia miliki, ia tetap setia dan menyayangi sampai maut memisahkan.

Pertemukan kembali mereka ya Allah. Jodohkanlah mereka sebagai pasangan dunia dan akhirat.
Amin.





Sabtu, 06 Mei 2017

Jika Rindu Ini Nyata

Pasrah menjulur dibatas semu dan nyata yang tak lagi memiliki batas tegas
Aroma rindu tercium lagi mengendap di kepala
Mendapati dia yang berdiri di hadapan
Setelah sekian lama berjalan jauh
Terpisah

Rindu tumpah
Mematung ketika gugusan mata itu tertangkap lagi
Bersambut jemari ini yang mengusap kepalanya
Diam ini cair menjelma damba
Meyakinkan diri: kali ini, kamu ada?

Lalu suatu ruang bertanya ringan:
Jika rindu ini nyata, mengapa bukan bahagia yang terasa?
Tak bisa tereja
Tak beraturan

Saya hanya ingin satu: mendekapmu lama.
Menghunus senja
Agar tercipta pengakuan rasa


Selasa, 04 April 2017

Menangislah

Malam ini
saya menangis sejadi-jadinya
membiarkan tetasan air mata menjalar bergantian
membuat hidung saya sesak dengan air

saya sudah lama tidak menangis
dan mungkin ini waktunya
biarkan mengalir
merasakan tiap hembusan nafas yang harus ditarik kuat sekadar untuk membangun diri lagi


22.22


Rasanya sulit mendeskripsikan ini dengan detail
Isi kepala saya dengan jelas menolak dan mengerti benar bahwa tak ada yang bisa saya nilai baik dan benar dari hal-hal yang kamu lakukan.
yang membuat mata saya penuh air mata.
yang membuat saya mengerti bahwa malam tak selalu menyajikan bintang cantik namun juga pekat dingin yang menghunus tiap nadi-menyayat-dengan perkataanmu yang lebih memilih perempuan itu-dan membiarkan kita hancur-rusak-selesai.
sampai saat tulisan ini tereja  dalam huruf membentuk paragraf yang kau baca,
rasa sakitnya masih muncul.
Mencari celah untuk keluar.
Tercecer.

tapi saya sudah merelakan.
mungkin seperti itu cara cinta bekerja: membiarkan sosok yang kau sayang menjalani pilihannya.
mendoakan agar tiap jejaknya tak kembali melukai.

















saya mencintaimu

Jumat, 10 Februari 2017

8.04



Beberapa hari berturut-turut satu hal ini menggiring saya pada semesta-semesta yang semakin menyakitkan buat saya.
Beberapa hari sebelum saya bertemu Tulus di hari Sabtu ( 4 Feb 2017) pada suatu acara di Senayan, hati saya banyak berkecamuk dengan satu mimpi saya yang saya tempel di dinding kamar dan selalu menegur saya setiap saya membuka mata dan akan tidur:


Jika saya kesal, saya mencabutnya. Bukan karena tulisan itu buruk, namun saya merasa sedih sendiri. Saya kesal dengan banyak pertanyaan yang hadir dan saya pun belum bisa menjawab kapan ini akan bermuara (atau mungkin hanya mimpi ketinggian saya).
Tapi saya bukanlah orang yang bisa mengkerdilkan mimpi saya sendiri. Karena ini bukan sekadar apa yang ada di kepala, tapi lebih ke arah nurani saya yang selalu menegur saya. Mengarah kesana. Ada sesuatu yang bahkan tidak bisa saya jelaskan dengan detail.
Oleh karena itu saat ini berperang dalam diri, sesak rasanya. Yang ada saya hanya mengambil air wudhu, menenangkan diri dalam solat, atau menyelinap melalui ayat-ayat kitab suci saya.
Berpasrah pada Pencipta. Membiarkan apa yang saya impikan ini berselimut doa yang tak jarang membuat sajadah saya basah.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saat saya menghadiri acara yang menyajikan Tulus sebagai pembicara, Tulus menceritakan bagaimana langkahnya menjadi penyanyi. Bagaimana karyanya selalu ditolak oleh label-label besar sampai akhirnya dia memproduksi albumnya sendiri dengan bantuan kakaknya.

" Saya  memulai semuanya dengan benar-benar mencari saya itu kurangnya dimana. Saya tau saya bisa menyanyi karena guru SD saya bilang suara saya bagus tapi waktu saya SD..."- sepenggal kalimat yang Tulus ceritakan.

Sampai ada benar-benar kalimat yang membuat saya heran sendiri dan campur aduk rasanya...

" Saya itu tidak bisa main alat musik, saya tidak bisa aransemen lagu, saya hanya bisa menyanyi, dan membuat lagu mentahan saja. Saya butuh orang-orang yang bisa melengkapi kekurangan saya ini". kurang lebih kalimat itu yang menampar saya.
Sama persis dengan saya:
 ( saya heran. Mengapa pembicara di depan saya ini seolah menjabarkan apa yang saya rasakan. Seolah memantulkan apa yang ada di diri saya)
 
Tidak bisa main alat musik, tidak bisa aransemen lagu, hanya bisa membuat lagu mentahnya saja.
( kebiasaan yang entah bisa dibilang aneh atau wajar saja: saya selalu menadakan lirik dari tulisan saya lalu agar saya tak lupa bagaimana nada yang saya ciptakan, saya merekamnya)

Tulus juga menampilkan video perjalanan karirnya yang jelas membuat mata saya benar-benar memusat kesana. Ini bukan sekadar tontonan video, saya hampir menangis. Bukan sekadar sinema yang apik tapi setiap potongannya selalu berbicara dengan tafsiran yang mengena di diri saya.
Saya tau langkah nyata saya masih sangat kurang. Saya belum sejatuh bangun Tulus. Namun saya sudah mengusahakan itu, setidaknya setelah saya menginjakkan kaki di Jakarta.
Saya menghubungi salah satu saudara jauh saya yang notabene adalah penyanyi jazz dengan grup musik yang sudah sangat besar, yang lagunya mungkin menjadi salah satu di playlist teman-teman yang membaca ini.

" Buka mata, hati, telinga, seungguhnya masiha da yang lebih penting dari sekedar kata cinta"- salah satu lirik yangs angat saya suka dari salah satu lagu om saya ini. 

Saya menghubunginya, mengatur jadwal untuk bertemu, namun seringnya pertemuan saya gagal dan mengatur ulang karena jadwal om yang padat, dan kami akhirnya ngobrol di chat.
Bukan karena saya bersaudara semuanya menjadi mudah. Tidak-sama-sekali.
Di percakapan chat saya menjelaskan banyak hal- bahkan curhat.
dan dibenturkan dengan pertanyaan:
Dalam bayangan kamu untuk jadi penyanyi harus apa?
Apa yang udah kamu lakuin Karl?
Apa yang udah kamu lakuin sebagai solois?
sampai pada pertanyaan yang tidak bisa saya jawab: belajar nyanyi sama siapa?
belajar nyanyi sama siapa: saya tidak bisa menjawab ini karena saya memang tidak pernah ikut kursus vokal.Tidak sama sekali. Semuanya mengalir.Yang saya tau: saya melakukan semuanya dari hati saya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata ibu saya, saat saya TK..guru TK saya bilang suara saya bagus lalu meminta saya untuk menyanyi di acara perpisahan kakak kelas TK besar. Saya bahkan tetap ingin tampil walau ibu sempat melarang. Dan akhirnya saya tampil:



Dan saat saya masuk SD, saya coba untuk ikut seleksi paduan suara SD (dan beberapa ekskul lain. Ikutan paskibra, main gamelan, menggambar,dokter kecil, dan..apalagi ya. Pokoknya jaman SD jaman ikutan ekskul paling banyak seumur hidup)

 Saya lolos menjadi tim alto karena memang timbre suara saya yang berat. Kata beliau, suara saya punya warna. Saya tidak tau maksutnya waktu itu. Masih terlalu bocah.
Bahkan guru padus SD itu, masih ingat dengan saya ( karena dulu saat saya SD, setiap latihan padus saya memakai baju dokter kecil. Karena saya jadi tim dokter kecil juga waktu SD). Saya bertemu lagi dengan guru padus SD ( namanya pak Wahyu), saat saya sudah kuliah. Tidak sengaja bertemu disalah satu perlombaan paduan suara. Beliau menjadi guru padus di salah satu fakultas di universitas saya sedangkan saya menjadi anak paduan suara universitas. Dipertemuan itu yang beliau ingat waktu menyapa adalah,” Kamu dokter kecil kan?”- saya ketawa sendiri. Bagaimana bisa setelah belasan tahun dan akhirnya bertemu, kalimat itu yang pertama kali beliau lontarkan. Tapi lucu. Membekas. Dan beliau menanyakan tentang menyanyi saya.  

SMP pun demikian, saya menjadi anak paduan suara lagi ( dengan jadi anak paskibra dan basket juga)

Saat SMA saya tidak mengikuti paduan suara karena saya ingin mengeksplor bidang lain yaitu karya tulis, basket, dan teater. Dimana saya menargetkan untuk berprestasi di ketiga bidang ini. Karena saat itu juga, paduan suara SMA saya kurang memiliki kekuatan untuk join di perlombaan. Dalam urusan memilih ekstrakulikuler, saya memang pemilih. Yang jelas saat saya mengikuti kegiatan diuar belajar pelajaran sekolah, ekskul yang saya ambil pun haruslah yang berproyeksi ke depan. Minimal ada perlombaan yang bisa saya ikuti bukan sekadar kumpul-kumpul saja tanpa punya target yang dicapai.

Saat kuliah, saya seleksi untuk ikut paduan suara universitas. Cuma satu ekskul aja sambil jadi pemain film-film pendek atau dokumenter. Yang jelas, kecintaan saya pada menyanyi dengan suara yang seadanya ini membuat saya tergiring oleh semesta untuk bertemu dengan orang-orang yang bisa mengembangkan menyanyi saya tanpa harus saya les vokal secara khusus. Saat seleksi tingkat universitas pun, sangat banyak sekali peminatnya. Apalagi memang paduan suara menjadi salah satu ukm yang memiliki nama dan incaran. Salah satu pelatih saya saat tes pembagian suara, beliau mengeluarkan kalimat yang guru padus SD saya bilang tentang karakter suara yang saya punya. Akhirnya disitu saya dijelaskan bahwa suara saya berkarakter, jadi untuk gabung di tim paduan suara..saya harus diletakkan di tempat yang pas. Untungnya walau saya berkarakter khas, suara saya ini model suara yang bisa tetap bercampur dengan suara lain. Dari sini pula, apa yang ibu utarakan saat saya masih kecil terjawab. Karl kecil selalu bertanya ke ibu tentang keinginanya ke luar negeri dan ibu selalu menjawab,” Iya boleh ke luar negeri dengan pakai prestasi ya”. Dan saat saya seleksi tim untuk ajang ke luar negeri, saya terpilih. Saya menjadi tim paduan suara untuk ke China dan Itali. Hidup memang menarik.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semenjak di Jakarta, saya sempat berpikir: apakah saat saya disana, saya tidak bisa nyanyi lagi? Karena ketahuilah, kebiasaan menjadi anak paduan suara menjadi hal yang sangat aneh ketika tau-tau tidak menyanyi lagi. Saya bahkan sempat mengkhawatirkan itu sekelebat. Rasa-rasanya saya tidak bisa jika tidak menyanyi. Apa jadinya jika hidup saya hanya dipenuhi aktifitas makan-mandi-mengarui macet Jakarta- ngantor- pulang-tidur- dan begitu lagi siklusnya. Jaman sekolah, saya pun padat dengan aktivitas, namun lagi-lagi ketika ada lahan untuk menyanyi semuanya menjadi seimbang. Karena saya yakin bahwa setiap manusia harus meluangkan waktu minimal 20% dari hidupnya untuk melakukan apa yang membuat ia senang, dan menyanyi menjadi lahan yang sudah mengakar dalam diri saya.


Saat di Jakarta, ternyata Tuhan itu Maha Baik. Pertemuan saya dengan salah satu teman dari paduan suara UI saat saya menjadi ketua kontingen padus universitas ke Itali, membuat kami akhirnya berteman jauh dari yang saya bayangkan. Ceritanya dulu saya dengan modal nekat karena saya merasa harus bertanya pada seseorang yang sudah berpengalaman, saya ke Jakarta sendiri. Saya mencari tau bagaimana akomodasi dan printilan lainnya jika mengikuti perlombaan paduan suara di Eropa. Karena saat saya menjadi ketua kontingen, itu untuk pertama kalinya padus saya mengikuti lomba internasional tingkat Eropa, sedangkan paduan suara UI sudah beberapa kali mengikuti perlombaan di kawasan Eropa. Dan kebetulannya teman saya ini juga menjabat menjadi ketua paduan suara UI dan menjadi komandan untuk perlombaan di Itali. Jadi kami sama-sama mengikuti perlombaan di negara yang sama namun di kota berbeda, lomba berbeda, dan waktu yang berbeda. UI pada bulan Agustus sedangkan Undip pada bulan September. Dari pertemuan ini dan tukar menukar info serta menguatkan satu sama lain ( karena menjadi ketua kontingen perlombaan sangat besar itu berkecamuk juga-lumayan pusing-uang dari mana banyak banget- sponsor kemana lagi-dan perempuan yang kadang juga nangis kalo udah mentok capeknya-tapi harus bangkit sesegera mungkin karena kami berdua komandan), hostel yang UI pakai saat di Roma pun jadi sama dengan yang Undip pakai. Kami benar-benar menguatkan saat itu dan menyuport satu sama lain untuk cita-cita kami membawa paduan suara Indonesia berprestasi di Eropa.

Setelah pertemuan itu, kami berteman dan saya join grup nyanyi yang ia bentuk dengan teman-teman paduan suara UI, nama grup kami sodapop.

Grup ini menjadi nafas baru untuk saya. Walau suara saya-jelas-tidak-sebagus-teman- teman bersepuluh saya. Percayalah, suara teman-teman saya ini sangat-bagus-sekali-dengan-teknik bernyanyi yang terasah ( karena dulu saya juga pernah menyelinap ke latihan paduan suara UI dan melihat bagaimana teknik dan suara perseorangan itu digodok betul. Saya salut sekali dengan cara ini.)
Saya ikut bernyanyi di grup ini. Dengan pembagian suara yang saya ikuti saja. Yang jelas saya senang, karena selain saya bisa bernyanyi lagi..mereka juga menjadi teman baru saya saat saya pertama kali di Jakarta. Grup kami juga suka join perlombaan-perlombaan di Jakarta, sebut saja keisengan yang berkualitas dan ternyata mendapatkan juara ( teman-teman juga bisa follow instagram kami: @sodapop.id) dan skejul terbaru kami adalah kami akan bernyanyi di Ismail Marzuki Jazz Festival. Untuk info detailnya nanti akan dipublikasikan lagi.

Tidak sampai situ saja, ternyata saya masih diberi ladang bernyanyi lagi bersama para alumni paduan suara Undip yang merantau di Jakarta. Senang sekali rasanya. Saya bisa kumpul dengan rumah kedua saya saat saya di universitas. Berkumpul dan bernyanyi bersama alumni lintas angkatan dengan skejul latihan rutin.
Sebenarnya saya kepikiran untuk membuat youtube, hanya saja saya tidak bisa mengedit video dan saya butuh juga orang yang bisa saya ajak tukar konsep untuk membuat ini. Oleh karena itu saya jadinya saat ini hanya  nyanyi-nyanyi semenit di instagram. Jika teman-teman yang membaca ini minat, bisa kontak saya. Bikin karya bareng hehe.

Saya tau suara saya masih jauh dari kata bagus. Orang Indonesia banyak sekali yang bersuara bagus. Saya juga menyanyi masih ada keseleo alias fales. Tapi saya orang yang selalu ingin belajar. Karena dari dulu saya belajar benar-benar ‘digiring semesta’ saja. Semengalir itu.
Saya baru menyusun langkah lagi untuk mengembangkan ini. Mengatur jadwal lagi dengan om saya, meluangkan waktu untuk nyanyi-nyanyi ga penting di instagram, dan nyanyi-nyanyi senang dengan grup. Serta jikalau memang kamu yang membaca ini bisa membantu saya membuat karya bersama, saya dengan senang hati terbuka untuk itu.

Semoga apa yang saya mimpikan bisa terwujud. Memiliki karya, bisa didengar orang banyak, dan menyenangkan mereka ( dan otomatis hal-hal itu tentunya menyenangkan diri saya juga). Entah bagaimana caranya, semoga Tuhan selalu mengantarkan saya pada pertemuan-pertemuan baik dengan mereka yang bisa membantu menyatakan mimpi saya. Sampai nantinya saya tak lagi memplakati ini dengan ‘saya’ saja namun menjadi karya ‘kami’.

Saya tidak punya tujuan khusus menuliskan ini. Saya hanya ingin menulis saja. Dan terima kasih untuk kamu yang meluangkan waktu untuk membaca.
Mungkin juga bisa ikut mengamini mimpi ini.

Bukankah mimpi adalah ladang yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain?

-with love-
Karl.